BAB I
PENDAHULUAN
A.
Kata Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah “EKSPLOITASI ANAK” dengan
lancar.
Kami juga tak lupa mengucapkan banyak
terima kasih pada rekan-rekan satu kelompok yang sudah membantu, serta Bu Sri
yang sudah membimbing kami sehingga kami bisa membuat makalah ini sesuai dengan
ketentuan yang berlaku hingga jadi sebuah makalah yang baik dan benar.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi pembelajaran, memperluas wawasan, dan memberi manfaat bagi kita sekalian.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi pembelajaran, memperluas wawasan, dan memberi manfaat bagi kita sekalian.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Terimakasih.
Madiun, Maret 2014
Penulis
B.
Latar Belakang
Fenomena pekerja
anak merupakan gambaran betapa kompleks dan rumitnya permasalahan anak.
Terlepas dari semua hal tersebut, penghargaan, penghormatan, serta perlindungan
Hak Asasi Manusia (HAM) diagung-agungkan di penjuru dunia. Sejak awal
pendeklarasian HAM, berbagi bentuk peraturan yang bersifat universal telah
dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di dunia. Upaya
perlindungan juga diikuti dengan penegakan hukum demi terselenggaranya HAM yang
konsisten. Jika kita berbicara fenomena pekerja anak, maka bidang HAM yang
langsung bersinggungan adalah hak anak. Baik di dunia internasional maupun di
Indonesia,masalah seputar kehidupan anak menjadi perhatian utama bagi
masyarakat maupun pemerintah. Sangat banyak keadaan-keadaan ideal yang
sebenarnya dapat menuntaskan permasalahan sosial ini. Namun, faktor-faktor lain
seperti kegagalan dalam pranata sosial turut menunjukkan ketidakmampuan
pemerintah.
Dalam konteksnya,
sebenarnya anak mempunyai hak yang bersifat asasi sebagaimana yang dimiliki
orang dewasa. Namun, perlindungan terhadapnya tidak sebombastis ketika masalah
HAM yang menyangkut orang dewasa atau isu gender diumbar ke khalayak umum. Perlindungan terhadap
hak anak tidak terlalu banyak dipikirkan pada umumnya. Begitu pula dengan
langkah konkritnya, bahkan upaya perlindungan itu sendiri dilanggar oleh negara
dan berbagai tempat di negeri ini, orang dewasa, bahkan orang tuanya sendiri.
Banyak anak-anak yang berada di bawah umur menjadi objek dalam pelanggaran
terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan . Di negara
kita, pekerja anak dapat dilihat dengan mudah di pertigaan atau di perempatan
jalan. Pandangan kita jelas tetuju pada sekelompok anak yang mengamen,
mengemis, atau mengais rezeki di jalanan. Itu hanya sedikit dari betapa
mirisnya kondisi anak-anak Indonesia. Masih banyak yang tidak terlihat jelas,
upaya-upaya pengeksploitasian anak-anak di negeri ini bahkan dapat disejajarkan
dengan tindakan kriminal. Mereka di eksploitasi sebagai pekerja kasar
konstruksi dan tambang tradisional, penyelam mutiara, penculikan dan
perdagangan anak, kekerasan aanak, penyiksaan anak dan bahkan pelacur
komersial.
Anak, seyogyanya
adalah gambaran dan cerminan masa depan, aset keluarga, agama, bangsa, negara
dan merupakan generasi penerus di masa yang akan datang. Mereka berhak
mendapatkan kebebasan, menikmati dunianya, dilindungi hak-hak mereka tanpa
adanya pengabaian yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ingin memanfaatkan
kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.
Dari berbagai
gejala sosial yang saat ini tengah muncul ke permukaaan, masalah pekerja anak
kian menjadi perbincangan hangat dalam upaya perealisasian yang sebenarnya.
Kesadaran kritis dirasa sangat diperlukan bagi kalangan civitas mahasiswa dalam
membuka kembali cakrawala perhatian dan pengetahuan sosial yang ada. Sehingga
tidak hanya kompeten dalam bidang keahlian, tetapi juga tanggap dalam membantu
menyesuaikan arus perkembangan masyarakat, karena bagaimanapun, penerus bangsa
ada di tangan- tangan mungil anak-anak Indonesia.
C.
Tujuan
Berdasarkan latar
belakang yang diuraikan sebelumnya, tujuan dari permasalahan sosial yang
diangkat antara lain :
1.
Mengetahui pengertian eksploitasi anak
2.
Mengetahui contoh eksploitasi anak
3.
Mengetahui sebab eksploitasi anak, yaitu
:
a. Faktor
Ekonomi
b. Faktor
Migrasi
c. Faktor
Budaya
d.
Faktor Kurangnya Pencatatan Kelahiran
e. Faktor
Kontrol Sosial
4.
Mengetahui sebab eksploitasi anak
5.
Mengetahui akibat eksploitasi anak
BAB II
ANALISIS/ PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
EKSPLOITASI ANAK
Pengertian eksploitasi anak
dalam kamus Bahasa Indonesia :
Eksploitasi anak
adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri melalui anak dibawah umur. Dengan
kata lain anak-anak digunakan sebagai media
untuk mencari uang.
Pengertian eksploitasi
secara umum:
Eksploitasi anak
adalah mempekerjakan seorang anak dengan tujuan ingin meraih keuntungan.
B.
CONTOH
EKSPLOITASI ANAK
1.
Mempekerjakan anak-anak sebagai pekerja
seksual
2.
Mempekerjakan anak-anak di pertambangan
3.
Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam
mutiara
4.
Mempekerjakan anak-anak di bidang kontruksi
5.
Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan
ikan lepas pantai
6.
Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung
7.
Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan
kegiatan yang menggunakan bahan peledak
8.
Mempekerjakan anak-anak di jalanan
9.
Mempekerjakan
anak-anak sebagai tulang punggung keluarga
10.
Mempekerjakan anak-anak di industri rumah
tangga
11.
Mempekerjakan anak-anak di perkebunan
12.
Mempekerjakan anak-anak untuk mengemis
13.
Orang tua yang mengajak anaknya untuk mengemis
C.
SEBAB
EKSPLOITASI ANAK
1.
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan pangkal utama dalam
peningkatan jumlah pekerja anak. Harga bahan pokok yang semakin mahal, tingkat kebutuhan
yang tinggi serta pengeluaran yang bertambah menuntut anak terjun untuk
membantu mencukupi kebutuhan dasarnya. Sebagian kasus pekerja anak ini terjadi
pada keluarga menengah kebawah.
2.
Factor Migrasi
Banyaknya migrasi terutama urbanisasi yakni perpindahan
penduduk dari desa ke kota meningkatkan jumlah pekerja anak.
Beberapa penyebab meningkatnya jumlah
pekerja anak terhadap faktor migrasi, khususnya urbanisasi, diketahui bahwa
ketidakpahaman mengenai urbanisasi itu sendiri dapat digunakan beberapa oknum
untuk menjebak ( khususnya pekerja anak) dalam pekerjaan yang di
sewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
3.
Faktor Budaya
Beberapa faktor budaya yang memberi
kontribusi terhadap peningkatan jumlah pekerja anak antara lain :
a.
Peran perempuan dalam keluarga
Meskipun norma-norma budaya menekankan
bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa
perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan
keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi
untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka. Ada beberapa kemungkinan
disini. Pertama, pada masyarakat desa yang masih tertekan oleh adat-istiadat
menganggap bahwa perempuan dapat dinikahkan secepatnya ketika sudah dianggap
cukup waktunya, walaupun belum matang secara psikis maupun fisik. Hal ini
mengakibatkan banyak anak-anak perempuan yang masih di bawah umur menanggung
beban layaknya perempuan dewasa sebagai istri.
b.
Perkawinan dini
Perkawinan dini mempunyai implikasi yang
serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah,
kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan
seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai
secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking
disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
c.
Sejarah pekerjaan karena jeratan hutang
Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga
untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang
dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena
jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang
dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
d.
Peran anak dalam keluarga
Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban
untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking.
Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena
jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat
diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
4.
Faktor Kurangnya Pencatatan Kelahiran
Orang tanpa pengenal yang memadai lebih
mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak
terdokumentasi. Anak-anak yang dipekerjakan, biasanya lebih mudah diwalikan ke
orang dewasa manapun yang memintanya. Dalam hal ini, ketidakmampuan Sistem
Pendidikan Nasional yang ada maupun dalam masyarakat untuk mempertahankan agar
anak tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sangat
besar. Sehingga anak-anak dilibatkan dalam hal kesempatan kerja dengan
bermigrasi terlebih dahulu atau langsung terjun mencari pekerjaan yang tidak
membutuhkan keahlian.
5.
Faktor Kontrol Sosial
Lemahnya kontrol sosial Pejabat penegak
hukum dan imigrasi yang korupsi dapat disuap untuk tidak mempedulikan
kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah juga disuap
agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP),
akte kelahiran, dan paspor khususnya anak-anak dapt denagn mudah diwalikan atau
bahkan diubah kewarganegaraannya.. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk
menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum
untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku- pelakunya.
D.
AKIBAT
EKSPLOITASI ANAK
1.
Anak
kehilangan haknya untuk belajar. Sebagian besar anak jalanan adalah anak-anak
yang putus sekolah dan bahkan tidak pernah merasakan bangku pendidikan.
2.
Perilaku
anak banyak yang menyimpang. Hidup di jalanan bukan lah hal mudah terlebih bagi
anak dibawah umur. Mereka harus berjuang
mencari uang dan besar kemungkinan terpengaruh hal-hal buruk, seperti merokok
di usia anak-anak, berbahasa kasar, terkadang bertengkar dengan anak-anak
lainnya, dsb
3.
Anak
kekurangan kasih sayang. Poin ini juga merupakan faktor penyebab eksploitasi
anak. Mereka dipaksa bekerja dan lebih banyak menghabiskan waktunya di jalanan
mencari uang daripada merasakan kasih sayang dari orang tuanya.
E.
SOLUSI
EKSPLOITASI ANAK
1.
Keluarga
a. Lebih memahami dan mengerti bahwa anak bukanlah milik
pribadi karena pada dasarnya setiap anak adalah sebuah pribadi yang utuh yang
juga memiliki hak sebagaimana individu lainnya, sehingga anak tidak dapat
dijadikan tumpuan amarah atas semua permasalahan yang dialami orangtua (Domestic
Based Violence).
b. Lebih berhati-hati dan memberikan perhatian serta menjaga
anak-anak dari kemungkinan menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh
orang-orang di sekitar kita (Community Based Violence).
2.
Masyarakat
a.
Lebih peka dan tidak menutup mata
terhadap keadaan sekitar sehingga apabila terjadi kekerasan terhadap anak di
lingkungan sekitar penanganannya dapat lebih cepat guna menghindari kemungkinan
yang lebih buruk pada anak yang bersangkutan.
b.
Aparat hukum seharusnya dapat lebih
peka anak pada setiap proses penanganan perkara anak baik dalam hal anak
sebagai korban tindak pidana maupun anak sebagai pelaku dengan mengedepankan
prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child).
c.
Pihak sekolah dan orang tua asuh
sebagai pendidik kedua setelah orang tua kandung, diharapkan dapat lebih
sensitif anak dalam mendidik anak-anak yang berada dibawah pengasuhan mereka.
d.
Mensosialisasikan
kepada masyarakat tentang adanya undang-undang perlindungan anak, terutama pada
ancman pidana/hukuman pada tindakan tersebut secara menyeluruh
3.
Negara
a.
Menyelesaikan dengan segera
konflik-konflik sosial dan politik yang berkepanjangan di berbagai daerah.
b.
Memperbaiki seluruh pelayanan publik
baik itu pelayanan kesehatan, pendidikan.
c.
Mengajak
kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan
bantuan beasiswa.
d.
Memberikan
pendidikan nonformal.
e.
Mengadakan
keterampilan bagi anak, pembiayaan atau penanggulangan pekerja anak bisa
dilakukan oleh masyarakat yang peduli terhadap kesejahteraan anak.
BAB
III
PENUTUP
B.
Kesimpulan
Permasalahan pekerja anak sebenarnya hampir menyerupai
sebuah gunung es. Kompleksitas pada dasar permasalahannya tidak tampak,
sedangkan aktualisasi pada permukaan berupa tindakan-tindakan eksploitasi
terhadap anak juga hanya muncul sedikit. Budaya masyarakat yang lebih cenderung
bersifat patriarchi dan kemiskinan secara struktural menciptakan suatu
iklim yang permisif terhadap pekerja anak di Indonesia. Terbatasnya studi dan
perhatian terhadap kondisi pekerja anak di Indonesia memberikan suatu
kontribusi terhadap terbelenggunya nasib pekerja anak.
Dari waktu ke waktu, perlindungan terhadap pekerja anak
di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Perlindungan secara yuridis yang
merupakan faktor penting terhadap keberadaan pekerja anak mengindikasikan
kemenduaan sikap pemerintah terhadap masalah ini. Penerapan discretion
clausule dalam berbagai aturan hukum tentang ketenagakerjaan, sering
menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda bahkan memberikan suatu celah hukum
terhadap eksploitasi pekerja anak. Hal inipun ternyata masih dijumpai pada
Undang Undang Ketenagakerjaan yang baru, yaitu UU Ketenagakerjaan No. 25 tahun
1997. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang sebagian terbesar berada pada
batas garis kemiskinan mendorong terjadinya enkulturasi "bekerja membantu
keluarga" yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara
sehat.
Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) sebagai solusi dalam
pemberantasan pekerja anak dirasakan sebagai komitmen yang dapat digunakan
untuk mempertahankan momentum pemberdayaan dan advokasi terhadap pekerja anak,
seperti yang telah dilakukan oleh LSM-LSM dalam usaha untuk menghilangkan
praktek pekerja anak di Indonesia. Akhirnya, Penjajagan dan pengembangan
jaringan kerja sama baik nasional, regional, maupun internasional merupakan
alternatif penting. Karena dengan kerjasama ini diharapkan dapat membantu
memberikan pemecahan terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pekerja
anak di Indonesia, yaitu: kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah.
B.
Saran
Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat
menjadi catatan kita bersama guna meminimalisir kemungkinan terjadinya
tindakan- tindakan serupa pada masa yang akan datang, mengingat apa yang
tertulis pada pasal 20 Undang-Undang No. tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang berbunyi: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”.
Oleh karena itu, ada beberapa saran yang dapat dijadikan acuan bagi kita semua,
antara lain:
1.
Keluarga
a.
Lebih memahami dan mengerti bahwa
anak bukanlah milik pribadi karena pada dasarnya setiap anak adalah sebuah
pribadi yang utuh yang juga memiliki hak sebagaimana individu lainnya, sehingga
anak tidak dapat dijadikan tumpuan amarah atas semua permasalahan yang dialami
orangtua (Domestic Based Violence).
b.
Lebih berhati-hati dan memberikan
perhatian serta menjaga anak-anak dari kemungkinan menjadi korban kekerasan
yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita (Community Based Violence).
2.
Masyarakat
a.
Lebih peka dan tidak menutup mata
terhadap keadaan sekitar sehingga apabila terjadi kekerasan terhadap anak di
lingkungan sekitar penanganannya dapat lebih cepat guna menghindari kemungkinan
yang lebih buruk pada anak yang bersangkutan.
b.
Aparat hukum seharusnya dapat lebih
peka anak pada setiap proses penanganan perkara anak baik dalam hal anak
sebagai korban tindak pidana maupun anak sebagai pelaku dengan mengedepankan
prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child).
c.
Pihak sekolah dan orang tua asuh
sebagai pendidik kedua setelah orang tua kandung, diharapkan dapat lebih
sensitif anak dalam mendidik anak-anak yang berada dibawah pengasuhan mereka.
d.
Mensosialisasikan
kepada masyarakat tentang adanya undang-undang perlindungan anak, terutama pada
ancman pidana/hukuman pada tindakan tersebut secara menyeluruh
3.
Negara
a.
Menyelesaikan dengan segera
konflik-konflik sosial dan politik yang berkepanjangan di berbagai daerah.
b.
Memperbaiki seluruh pelayanan publik
baik itu pelayanan kesehatan, pendidikan.
c.
Mengajak
kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan
bantuan beasiswa.
d.
Memberikan
pendidikan nonformal.
e.
Mengadakan
keterampilan bagi anak, pembiayaan atau penanggulangan pekerja anak bisa
dilakukan oleh masyarakat yang peduli terhadap kesejahteraan anak.
Cahya Pinjaman perusahaan adalah salah satu perusahaan pinjaman independen terkemuka di seluruh dunia. Kami mapan dan selama bertahun-tahun telah mengembangkan pemahaman yang baik tentang kebutuhan dan kebutuhan individu. Kami berkomitmen untuk memperlakukan pelanggan kami secara adil dan menawarkan layanan yang profesional, ramah dan membantu. Prosedur kami dirancang untuk cocok Anda, untuk memastikan bahwa kami menawarkan produk yang sesuai dengan kondisi Anda, formalitas dikurangi seminimal mungkin, dan bersama-sama dengan pendekatan kami fleksibel untuk masing-masing program, pastikan Anda menyelesaikan permintaan pinjaman Anda. Kami telah membantu pelanggan mengubah dan memperbaiki kehidupan mereka selama lebih dari 47 tahun dan kami benar-benar independen, kita berada dalam posisi yang unik untuk menawarkan berbagai pinjaman untuk semua jenis bisnis dan individu. Tujuan kami adalah untuk memenuhi kebutuhan keuangan Anda dan kepuasan Anda sangat penting bagi kami. Itulah sebabnya kita harus memberikan pinjaman dengan suku bunga 2%, silakan kembali ke kami hari ini jika Anda tertarik kami services.E-mail: cahya.creditfirm@gmail.com
BalasHapusiklan wkwkwkwkwkwkw
Hapusini makalahnya ga pake referensi ya mba?
BalasHapus